Kamis, 05 Agustus 2010

MANUSKRIP KAFKA

Kamis, 05 Agustus 2010 - 10:32
Manuskrip Kafka Mendarat di Pengadilan
oleh Sigit Susanto

Manuskrip asli "Der Prozess"-nya Kafka itu.
JIKA sebuah buku dicekal oleh pengadilan, sepertinya agak biasa, tapi bagaimana dengan manuskrip yang harus berurusan dengan pengadilan? Franz Kafka (1833-1924), sastrawan Yahudi asal Praha tak hanya karyanya yang terus dibicarakan warga dunia, namun warisan manuskrip aslinya juga berkepanjangan hingga kini.

Max Brod (1884-1968) adalah sahabat karib Kafka. Keduanya pernah punya cita-cita sama, yakni kembali ke negeri leluhur mereka di Israel. Niat itu tidak sampai dilakukan oleh Kafka, ia keburu meninggal tahun 1924, karena serangan tuberkulosis. Namun Brod telah membuktikan impiannya. Ketika tentara Nazi masuk Praha tahun 1939, Brod berhasil meloloskan diri. Awalnya ia hendak menuju USA, namun gagal. Akhirnya lewat negeri Balkan dan Konstantinopel, ia berhasil sampai ke Israel. Dalam pelariannya itu ia sambil membawa dua koper kulit. Kedua koper tersebut berisi barang-barang milik Kafka antara lain, manuskrip, sketsa, kartu pos dan dokumen lain. Selain manuskrip yang dibawa Brod, masih ada di pihak-pihak lain. Misalnya, pada Felice Bauer, bekas pacar Kafka di Berlin dan juga Dora Diamant, bekas istri Kafka.

Testamen Berbuah Testamen

Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa Kafka pernah membuat dua testamen kepada, Max Brod untuk membakar beberapa karyanya. Testamen pertama, "Max Brod yang terhormat, milik saya..." (ditulis antara tahun 1920/1921). Testamen kedua, "Max Brod yang terhormat, mungkin..." (ditulis 1922/1923). Isi kedua testamen tersebut intinya menyuruh Brod untuk membakar warisan karya tulisnya, dimana pada testamen pertama hanya menyinggung semua warisan karya yang ditulis tangan, sedang pada testamen kedua tentang karya sastra yang sudah dicetak dengan perkecualian yang berjudul "Meditasi" (Betrachtung) dan termasuk juga pada artikel yang telah tercetak berserakan di orang lain dan prosa-prosa pendek.

Brod melakukan hal yang sebaliknya, bukan membakar karya Kafka, justru menerbitkan. Alasan Brod sederhana, pada sebuah percakapan di kafe niat itu diutarakan Kafka kepada Brod secara lisan. Saat itu Brod langsung menolak. Berarti ia sudah menjawab permohonan Kafka. Pertimbangan Brod setelah Kafka meninggal, jika Kafka memang benar-benar berniat membakar karyanya, kenapa tidak membuat testamen baru dan ditujukan kepada orang lain? Akhirnya Brod-lah yang punya hak kuasa atas karya-karya Kafka. Sebagian besar karya Kafka telah ia terbitkan, meskipun tidak semua. Seandainya Brod benar-benar melaksanakan kehendak Kafka, bisa terjadi sastra dunia kehilangan huruf K, artinya, tanpa Kafka. Terbukti karya Kafka menjadi salah satu yang penting di abad 20. Italo Calvino dalam bukunya "The Uses of Literature“ menyebutkan, nama Kafka telah menjadi ikon sastra resmi dengan menetapkannya sebagai kata sifat "Kafkais“ (Kafkaesque). Penggemar karya Kafka layak berterima kasih kepada jasa Brod. Meskipun dalam mengumpulkan karya-karya tersebut ia harus mengabaikan rasa malu. Tak jarang ia dicemburui oleh Diamant, yang dituduh untuk kepentingan komersil Brod.

Di Israel Brod berkenalan dengan sesama pengungsi asal Praha bernama Otto Hoffe dan istrinya Ilse Ester Hoffe (1904-2007). Selanjutnya Ester menjadi sekretaris Brod yang bertugas mengedit dan mengoreksi naskah. Karena hubungan keduanya semakin intim, Ester menjadi pacar Brod. Sejak tahun 1945 semua manuskrip Brod dan milik Kafka telah diberikan kepada Ester. Pada 1956 terjadi krisis di terusan Suez, Brod menyimpan manuskrip Kafka pada Safe Deposit Box No: 6588 pada Bank UBS di Zürich, Switzerland. Seluruhnya ada 10 box, 4 berada di Zürich dan 6 ada di Tel Aviv.

Sebelum Brod meninggal tahun 1968, ia sudah memberikan sebuah testamen kepada Ester atas semua karyanya, buku hariannya termasuk semua manuskrip Kafka. Pada 2007 Ester meninggal dunia pada usia 101 tahun dan ia telah memberikan testamen selanjutnya kepada dua anak perempuannya, Eva Hoffe dan Ruth Wisler. Di sinilah testamen berbuah testamen.

Lelang Naskah dan Kepentingan Israel

Pada Januari 2010 ini kedua anak perempuan Ester, Eva dan Ruth bermaksud meminta legitimasi hukum pada pengadilan di Tel Aviv. Tiba-tiba Perpustakaan Nasional dan Arsip Nasional Israel hendak mengambil alih manuskrip Kafka. Pihak pemerintah Israel menganggap karya Kafka sebagai aset budaya nasional yang harus dikuasai dan dilestarikan oleh negara. Pihak pemerintah Israel mendesak agar ke 10 box penyimpan manuskrip Kafka segera bisa dibuka. Termasuk manuskrip Kafka yang dimiliki perorangan dan lembaga arsip. Shmuel Har Noy, dari Perpustakaan Nasional Israel mengemukakan pada koran Jerman Zeit, “The rightful place of the Kafka Papers is the National Library of Israel.”

Reiner Stach, penulis biografi Kafka menuturkan pada koran Jerman Der Tagesspiegel (30/7), Ester pernah menjual surat Kafka yang ditujukan kepada Brod sebanyak 8 halaman seharga sekitar Rp 1 Miliar (Sfr.120.000) pada seorang yang tak dikenal di Basel, Switzerland. Tahun 1961, perpustakaan Bodleian, Oxford, London juga telah membeli naskah-naskah Kafka. Reiner menyanggah niat Israel yang tiba-tiba hendak menguasai manuskrip Kafka. Di Israel sendiri menurut Reiner, tak ada jalan yang bernama Kafka. Ia menduga masih banyak manuskrip Kafka di bekas rumah Ester di Tel Aviv. Setidaknya ada sekitar 70 surat Diamant kepada Brod. Sumber dari pengkaji karya Kafka mengatakan, ada sebundel amplop bertuliskan “Banyak tentang Kafka.”

Ester dikenal oleh para ahli karya Kafka sebagai orang yang tidak mau bekerjasama. Ia lebih senang menjual manuskrip Kafka pada lelang benda warisan bermutu dunia. Salah satu manuskrip penting yang menjadi sengketa dengan pengadilan di Tel Aviv adalah naskah tulis tangan novel dari Trilogi “Proses” (Der Prozess). Manuskrip ini pernah ditawar oleh pusat arsip Marbach di Jerman seharga hampir 2 juta dolar. Kini banyak ahli dan pemerhati karya Kafka sedang menunggu dengan cemas, kira-kira masih ada karya apa lagi yang tersimpan di box-box bank penyimpan naskah? Harapannya masih akan ditemukan karya terbaru yang bisa menambah khasanah sastra dunia dari tangan Kafka. ***

*sumber: dari berbagai media bahasa Jerman.
*) Penulis lepas. Saat ini tinggal di Swiss.
**) Di Repro dari Indonesian Art News.com

Minggu, 01 Agustus 2010

BAGAIMANA KITA MENDEFINISIKAN PUISI?


Bagaimana Kita Mendefinisikan Puisi?

Begitu banyak kemungkinan definisi tentang apa itu puisi. Jika kita membaca karya-karya berbau puitik seperti The Oddysey karya Homer yang dituliskan di era Yunani Kuno, maka kita akan berasumsi bahwa puisi adalah sebuah kisah petualangan atau suatu karya sastra pengembaraan. Jika kita membaca karya Chairil Anwar maka kita akan menyimpulkan bahwa puisi adalah permainan kalimat bermakna yang pendek dan kuat. Tetapi jika kita membaca sajak-sajak Afrilzal Malna, maka kita mungkin akan menganggap puisi adalah sebuah teka-teki makna yang tampak (oleh penyair) dituliskan secara semena-mena. Atau jika kita membaca karya penyair Pablo Neruda yang berjudul 100 Love Sonets (Seratus Soneta Cinta), maka kita akan membayangkan bahwa puisi lebih mungkin sebagai sebuah “novel  aforistik”.

Mendefinisikan puisi tidak sekedar harus mejangkau begitu banyak kekuatan gaya-gaya puitik. Sebagai bayangan gaya puitik ada dalam bentuk soneta, mantraik, sufistik, pamflet, pantun, dadais dan sebagainya.  Sebagai contoh, karya-karya puisi Wordsworth dijelaskan sebagai  sajak spontan karena kekuatan emosi yang mengalir kuat dalam kata-katanya. Beberapa negara juga mempunya tradisi puitik masing-masing, seperti Jepang, Eropa, China, Arab, ataupun Indonesia. Di Indonesia saja, berbagai wilayah di Nusantara mempunyai tradisi etnopuitik (puisi etnik) yang berbeda-beda sesuai dengan etnik. Sebagai contoh di komunitas etnik Bugis Makassar terdapat model etnopuitik seperti “aru” atau “pasang” yang sangat khas.

Puisi juga kadang harus dihubungkan perubahan-perubahan ideologi pemikiran.  Maka kita akan mengenal istilah puisi barok, puisi renaissance, puisi tradisional, puisi modern, puisi postmodern. Hal tersebut terkait dengan posisi puisi bukan sekedar sebagai seni murni tetapi juga sebagai sebuah instrumen pemikiran yang menunjukkan gaya berfikir yang berkembang pada masa puisi itu di lahirkan atau kekuatan gaya pemikiran apa yang mempengaruhi sang penyair.

Kadang puisi juga tidak cukup memuaskan jika didefiniskan secara akademik (ilmiah). Puisi menjadi sebuah definisi personal yang bisa saja dimiliki oleh siapapun yang “berhasil” mempersepsi sebuah karya puitik. Emily Dickinson, misalnya, pernah ditanya tentang apa itu puisi, dan ia menjawab “jika aku membaca sebuah buku dan buku itu tiba-tiba membuat tubuh saya menjadi dingin sekaligus terbakar hangat, maka saya yakin itu adalah buku puisi”. Demikian pula Thomas Dylan yang menjelaskan puisi sebagai “sesuatu yang membuat saya emosi saya berubah, membuat saya tertawa atau menangis atau menjadi lemah,  yang menuntun saya ingin melakukan atau tidak ingin melakukan sesuatu”.

Apakah itu puisi?

Puisi  tentu adalah sebuah istilah yang lahirdari bahasa Latin poeta” atau bisa diartikan sebagai syair. Banyak pakar sastra sepakat kalau puisi adalah salah satu bentuk seni sastra yang menggunakan kekuatan bahasa secara estetik.  Dalam puisi, kata-kata tidak di kreasi sekedar memenuhi unsur estetik tetapi juga pada  kekuatan makna.  Puisi dapat dituliskan secara individual sebagaimana dikenal dengan istilah sajak-sajak diskrit. Puisi juga isa ditulis dalam bentuk interteks seperti  model  yang dikenal dengan istilah drama puitik, himne, puisi lirik, atau prosa puitik sebagai mana banyak ditulis oleh penyair Lebanon Kahlil Gibran.

Puisi juga terkait dengan bagaimana cara ditampilkan atau dibacakan. Dalam konteks tersebut kita akan menemukan gaya membaca puisi yang berfokus pada pola retorika sebagaimana cara W.S Rendra ketika membaca sajak-sajak pamfletnya yang bergaya pidato propaganda. Puisi juga bisa dibaca secara dramatic atau teatrikal, puisi juga bisa dilagukan, puisi pun bisa dimainkan dalam bentuk komedi. Maka puisi mewakili segenap tindakan-tindakan kreatif yang menggunakan bahasa dan gaya bertutur.

Puisi
juga adalah sebuah pola-pola permainan kata-kata. Dalam puisi akan kita temukan berbagai bentuk-bentuk tertentu penggunaan  kata-kata secara tidak konvensional. Penyair menuliskan puisi tidak dengan arti dasar suatu kata tetapi berdasarkan arti alternative dari suatu kata, atau rumusan-rumusan makna baru dari komposisi kata-kata. Permainan kata, dalam puisi, juga ditujukan untuk membangkitkan respon-respon bathin secara emosional dan sensual. Puisi menggunakan berbagai  perangkat (dikenal dengan istilah perangkat stilistika) seperti asonansi, aliterasi, bentuk kata yg menirukan sesuatu bunyi, dan irama yang kadang-kadang digunakan untuk mencapai efek dan komposisi musikal (incantatory). Penggunaan model  ambiguitas, simbolisme, ironi, dan elemen gaya diksi puitis lainnya, disengaja oleh penyair agar puisinya  terbuka untuk di interpretasi secara ganda. Demikian pula penggunaan gaya bahasa  metafora, simile, dan metonymy  yang menimbulkan kualitas resonansi kalimat antara sesuatu yang dinyatakan menjadi berbeda dengan yang di gambarkan  sebagai sebuah makna. Efek puitik yang dituju dari sebuah permainan kata-kata adalah membentuk sebuah pola  hubungan makna yang sebelumnya elum pernah dipahami atau  dirasakan oleh manusia.

Puisi menjadi sebuah gaya dan teknik penggunaan kata dan makna. Ini tentu serupa dengan arsitektur membangun sebuah gaya rumah dengan teknik arsitektural dengan karakter tertentu. Seorang penyair besar seperti Dante, Neruda, Gibran, Rumi, Yeats, Chairil Anwar, Rendra, hingga Sutardji C. Bahri sesungguhnya adalah arsitek-arsitek kata dan makna yang mempunyai pola dan pendekatan masing-masing dalam memainkan kata-kata dan membentuk komposisi makna-makna.


Lalu apa itu puisi?

Puisi selalu berkembang untuk lepas dari kemungkinan-kemungkinan didefinisikan. Tak ada definisi umum tentang sebuah puisi yang dapat secara tuntas dan akurat memberikan kepada kita pemahan tentangnya. Beberapa konsep analogis menarik tentang puisi menyatakan “puisi adalah bahasa yang dipahat pada makna”, “puisi adalah kuas makna penyair yang dilukiskan pada kanvas jiwa pembacanya”. Pendeknya, puisi selalu bergerak menjauh dari segala definisi-defini yang muncul.  Itulah sebabnya segala bentuk definisi yang mengikat tentang puisi selalu gagal menjelaskan fenomena puisi baru yang muncul.

Tujuan dan bentuk puisi yang dituliskan para penyair selalu bergerak melampaui puisi yang telah ada. Tetapi yang pasti puisi adalah salah satu metode untuk menyatakan dunia. Bagaimana bentuk dan tujuan sebuah puisi dituliskan itu soal yang lebih detail lagi. Puisi mengisyaratkan sebuah petualangan bahasa yang tak berhenti.  Definisi puisi tidak mungkin menghentikan gerakan-gerakan kreatif dan inovatif penyair untuk terus melampaui bentuk dan tujuan puisi yang telah ada.  Pengembaran kreatif dalam membentuk emosi kata, membangun komposisi musical baru, membuat topografi, meengkreasi gaya bahasa, pembentukan kata baru, permainan diksi tak mungkin dihentikan dengan sebuah definisi tentang apa itu puisi.

Sebuah kemungkinan menarik untuk menjawab pertanyaan ontologis tentang apa itu puisi bisa didekati dengan berbagai kemungkinan ideologi. Kita hanya bisa melihat atau setidaknya menduga bahwa puisi adalah sebuah upaya respon terhadap dunia melalui model atau karakter sastra dalam bentuk puisi. Kita juga bisa melihat susupan pemahaman ideologi sastra yang memandang puisi secara berbeda, sebut saja eksistensialisme, marxisme, dadaisme dll. Secara resonansi waktu puisi pun dipahami berbeda dalam tradisi tradisional, modern, dan postmodernisme.

Perpsekti f tradisionalisme berpendapat bahwa puisi adalah ekspresi dari sebuah visi yang diberikan dalam bentuk yang indah dan menyenangkan kepada orang lain dan mungkin membangkitkan emosi yang sama. Perspektif  modernisme, berasumsi bahwa puisi adalah sebuah objek otonom yang mungkin atau mungkin tidak mencerminkan dunia nyata tetapi dibuat dalam bahasa yang dibuat khusus dengan referensi  makna yang kompleks. Perspektif postmodernisme, memandang puisi sebagai kolase dari idiom yang menarik emosi  tapi mandiri.
 
Salah satu cara lain memahami puisi adalah memandangnya sebagai salah satu bentuk genre sastra yang unik. Tentu puisi harus kita pahami sebagai sebuah model komposisi sastra yang berbeda dengan novel atau cerpen. Dengan memahami perbedaan puisi dengan komposisi sastra lainnya, setidaknya kita juga dapat mempunyai bayangan tentang apa itu puisi. Lalu, apa yang membedakan puisi dari komposisi sastra lainnya? Pertanyaan tersebut juga bisa “debatebel”.  Intinya (tanpa bertujuan membangun sebuah definisi), puisi adalah sesuatu yang otonom bahkan hingga ditinggak individu puitik berupa sajak-sajak.  Maka pada diri sajak-sajak itulah ia mendefinisikan dirinya. Setiap anda membaca satu puisi maka puisi itu sendiri yang akan mendefinisikan dirinya.

Tidak banyak cara praktis untuk mendefinisikan apa itu puisi. Definisi yang tersedia dalam dunia akademik, akan mengacu pada berbagai perspektif dalam lingkup estetika, teoris sastra, dan kritik sastra. Tetapi apapun perspektif yang digunakan dalam dunia akademik selalu beroperasi pada sebuah model komposisi puisi tertentu. Kadang banyak kasus, teori sastra atau kritik sastra diajukan untuk mengurai substansi dan esensi seuah puisi tetapi puisi itu sendiri mempertahankan kebenaran dirinya.  Apakah puisi itu adalah sebuah puisi dengan kualitas sastra tinggi, rendah, atau sedang, selalu mempunyai kebenaran puitik didalam dirinya. Seberapa tegas sebuah teori sastra puisi atau kritik sastra puitik mengungkap eksistensi puisi, sebuah puisi selalu bertahan dengan kebenaran puitiknya sendiri-sendiri.

Lalu ada beberapa kemungkinan kita memahami kebenaran puitik yang mungkin juga sangat tidak memuaskan. Pertama puisi mungkin adalah sebuah seni sastra yang tidak terjelaskan. Statemen tersebut menjelaskan bahwa sebuah puisi adalah susunan kata-kata yang maknanya berada diluar dari kata-kata tersebut.  bahkan kemungkinan lain dari sebuah puisi sebagai sastra yang tak terjelaskan adalah kemungkinan tidak dapat ditemukan wujudnya ketika dibaca tetapi dalam proses pasca pembacaan atau dalam sebuah refleksi setelah terbaca.

Kemungkinan lain , sebagai  kemungkinan kedua dalam memahami kebenaran puisi adalah memahami puisi sebagai sebuah tindakan penemuan. Argumentasi tersebut tentu terkait dengan apa yang dikemukakan seorang penyair bernama Skacel yang menyatakan bahwa “penyair tak pernah menuliskan puisi, penyair hanya menemukan puisi”. Sebuah derita atau kesedihan yang tampak dituliskan seorang penyair dalam puisinya sesungguhnya adalah derita dan kesedihan yang ditemukannya disuatu tampat didunianya. Maka kebenaran yang mungkin dari sebuah puisi adalah sebuah  penemuan. Menulis puisi adalah sebuah kemungkinan dari tindakan penemuan. Dalam konteks ini kita bisa memilah kemungkinan kualitas penemuan sebagai cara memilah kualitas puisi. Puisi amatir, puisi populer, puisi anak-anak, atau puisi yang berkualitas sangat tergantung dari kualitas makna yang ditemukannya atau kualitas puitik yang ditemukannya.

Kebenaran lain yang mungkin terdapat dalam sebuah puisi adalah fase unik dari zaman atau karakter penyairnya. Kemungkinan ini terkait dengan sebuah gaya zaman atau karakter personal penyair. Pengalaman unik dan sebuah zaman yang khas tentu akan melahirkan puisi-puisi yang mengandung karakter kebenarannya sendiri.  Pada perspektif itulah, kita akan menemukan sebuah kebenaran soneta yang khas dari jiwa seorang penyair idealis seperti Pablo Neruda, atau kita akan menemukan sebuah kebenaran dari puisi mantra yang ditulis oleh seorang penyair mistik seperti Sutardji Calzhoum Bachri, atau kita menemukan sebuah kebenaran  misteri kata-kata   dari puisi dadais dari seorang penyair absurd seperti Afrizal Malna.

Kemungkinan kebenaran yang keempat dari sebuah puisi adalah bahwa puisi tidak punya rumus, tidak punya cetakan, tidak punya resep, dan tidak punya motif.  Maka sebuah puisi tidak mungkin diukur dalam konteks rumus, cetakan, resep, atau motif-motif puitik apapun.  Sangat sulit untuk mengatakan bahwa karya-karya puisi Aslan Abidin lebih rendah dari kualitas puisi Afrizal Malna. Sangat tidak mungkin mengatakan bahwa karya-karya puisi Williams Butler Yeats yang pernah memenangkan Nobel bidang sastra jauh lebih baik dari karya-karya puisi Chairil Anwar yang tidak pernah memenangkan hadiah Nobel kesusasteraan.  Semua puisi dibentuk dari rumus, cetakan, resep, dan motif yang berbeda.

Kemungkinan kebenaran yang kelima adalah puisi dibangun dengan kredo puitik subjektif dari masing-masing penyair. Visi kepenyairan menggambarkan sebuah visi kebenaran yang subjektif pada setiap puisi. Para penyair mempunyai cara pandang yang berbeda memahami apa itu puisi dan cara kerja yang berbeda dalam menggunakan puisi. Perbedaan-perbedaan tersebut bersandar pada kebenaran puitik masing-masing penyair.

Untuk menjawab pertanyaan apa itu puisi tentu bukan sebuah situasi yang sederhana, kita harus mengacu pada berbagai kemungkinan kebenaran yang bisa menjawap pertanyaan ontologis tersebut. seringkali ketika seseorang mencoba menjawab pertanyaan seputar apa itu puisi, maka yang ditemukan bukanlah jawaban melainkan pertanyaan-pertanyaan yang lebih rumit lagi.

Sungguminasa-GOWA, 23 Februari 2008
Ahyar Anwar

BAGAIMANA KITA MENDEFINISIKAN PUISI?


Bagaimana Kita Mendefinisikan Puisi?

Begitu banyak kemungkinan definisi tentang apa itu puisi. Jika kita membaca karya-karya berbau puitik seperti The Oddysey karya Homer yang dituliskan di era Yunani Kuno, maka kita akan berasumsi bahwa puisi adalah sebuah kisah petualangan atau suatu karya sastra pengembaraan. Jika kita membaca karya Chairil Anwar maka kita akan menyimpulkan bahwa puisi adalah permainan kalimat bermakna yang pendek dan kuat. Tetapi jika kita membaca sajak-sajak Afrilzal Malna, maka kita mungkin akan menganggap puisi adalah sebuah teka-teki makna yang tampak (oleh penyair) dituliskan secara semena-mena. Atau jika kita membaca karya penyair Pablo Neruda yang berjudul 100 Love Sonets (Seratus Soneta Cinta), maka kita akan membayangkan bahwa puisi lebih mungkin sebagai sebuah “novel  aforistik”.

Mendefinisikan puisi tidak sekedar harus mejangkau begitu banyak kekuatan gaya-gaya puitik. Sebagai bayangan gaya puitik ada dalam bentuk soneta, mantraik, sufistik, pamflet, pantun, dadais dan sebagainya.  Sebagai contoh, karya-karya puisi Wordsworth dijelaskan sebagai  sajak spontan karena kekuatan emosi yang mengalir kuat dalam kata-katanya. Beberapa negara juga mempunya tradisi puitik masing-masing, seperti Jepang, Eropa, China, Arab, ataupun Indonesia. Di Indonesia saja, berbagai wilayah di Nusantara mempunyai tradisi etnopuitik (puisi etnik) yang berbeda-beda sesuai dengan etnik. Sebagai contoh di komunitas etnik Bugis Makassar terdapat model etnopuitik seperti “aru” atau “pasang” yang sangat khas.

Puisi juga kadang harus dihubungkan perubahan-perubahan ideologi pemikiran.  Maka kita akan mengenal istilah puisi barok, puisi renaissance, puisi tradisional, puisi modern, puisi postmodern. Hal tersebut terkait dengan posisi puisi bukan sekedar sebagai seni murni tetapi juga sebagai sebuah instrumen pemikiran yang menunjukkan gaya berfikir yang berkembang pada masa puisi itu di lahirkan atau kekuatan gaya pemikiran apa yang mempengaruhi sang penyair.

Kadang puisi juga tidak cukup memuaskan jika didefiniskan secara akademik (ilmiah). Puisi menjadi sebuah definisi personal yang bisa saja dimiliki oleh siapapun yang “berhasil” mempersepsi sebuah karya puitik. Emily Dickinson, misalnya, pernah ditanya tentang apa itu puisi, dan ia menjawab “jika aku membaca sebuah buku dan buku itu tiba-tiba membuat tubuh saya menjadi dingin sekaligus terbakar hangat, maka saya yakin itu adalah buku puisi”. Demikian pula Thomas Dylan yang menjelaskan puisi sebagai “sesuatu yang membuat saya emosi saya berubah, membuat saya tertawa atau menangis atau menjadi lemah,  yang menuntun saya ingin melakukan atau tidak ingin melakukan sesuatu”.

Apakah itu puisi?

Puisi  tentu adalah sebuah istilah yang lahirdari bahasa Latin poeta” atau bisa diartikan sebagai syair. Banyak pakar sastra sepakat kalau puisi adalah salah satu bentuk seni sastra yang menggunakan kekuatan bahasa secara estetik.  Dalam puisi, kata-kata tidak di kreasi sekedar memenuhi unsur estetik tetapi juga pada  kekuatan makna.  Puisi dapat dituliskan secara individual sebagaimana dikenal dengan istilah sajak-sajak diskrit. Puisi juga isa ditulis dalam bentuk interteks seperti  model  yang dikenal dengan istilah drama puitik, himne, puisi lirik, atau prosa puitik sebagai mana banyak ditulis oleh penyair Lebanon Kahlil Gibran.

Puisi juga terkait dengan bagaimana cara ditampilkan atau dibacakan. Dalam konteks tersebut kita akan menemukan gaya membaca puisi yang berfokus pada pola retorika sebagaimana cara W.S Rendra ketika membaca sajak-sajak pamfletnya yang bergaya pidato propaganda. Puisi juga bisa dibaca secara dramatic atau teatrikal, puisi juga bisa dilagukan, puisi pun bisa dimainkan dalam bentuk komedi. Maka puisi mewakili segenap tindakan-tindakan kreatif yang menggunakan bahasa dan gaya bertutur.

Puisi
juga adalah sebuah pola-pola permainan kata-kata. Dalam puisi akan kita temukan berbagai bentuk-bentuk tertentu penggunaan  kata-kata secara tidak konvensional. Penyair menuliskan puisi tidak dengan arti dasar suatu kata tetapi berdasarkan arti alternative dari suatu kata, atau rumusan-rumusan makna baru dari komposisi kata-kata. Permainan kata, dalam puisi, juga ditujukan untuk membangkitkan respon-respon bathin secara emosional dan sensual. Puisi menggunakan berbagai  perangkat (dikenal dengan istilah perangkat stilistika) seperti asonansi, aliterasi, bentuk kata yg menirukan sesuatu bunyi, dan irama yang kadang-kadang digunakan untuk mencapai efek dan komposisi musikal (incantatory). Penggunaan model  ambiguitas, simbolisme, ironi, dan elemen gaya diksi puitis lainnya, disengaja oleh penyair agar puisinya  terbuka untuk di interpretasi secara ganda. Demikian pula penggunaan gaya bahasa  metafora, simile, dan metonymy  yang menimbulkan kualitas resonansi kalimat antara sesuatu yang dinyatakan menjadi berbeda dengan yang di gambarkan  sebagai sebuah makna. Efek puitik yang dituju dari sebuah permainan kata-kata adalah membentuk sebuah pola  hubungan makna yang sebelumnya elum pernah dipahami atau  dirasakan oleh manusia.

Puisi menjadi sebuah gaya dan teknik penggunaan kata dan makna. Ini tentu serupa dengan arsitektur membangun sebuah gaya rumah dengan teknik arsitektural dengan karakter tertentu. Seorang penyair besar seperti Dante, Neruda, Gibran, Rumi, Yeats, Chairil Anwar, Rendra, hingga Sutardji C. Bahri sesungguhnya adalah arsitek-arsitek kata dan makna yang mempunyai pola dan pendekatan masing-masing dalam memainkan kata-kata dan membentuk komposisi makna-makna.


Lalu apa itu puisi?

Puisi selalu berkembang untuk lepas dari kemungkinan-kemungkinan didefinisikan. Tak ada definisi umum tentang sebuah puisi yang dapat secara tuntas dan akurat memberikan kepada kita pemahan tentangnya. Beberapa konsep analogis menarik tentang puisi menyatakan “puisi adalah bahasa yang dipahat pada makna”, “puisi adalah kuas makna penyair yang dilukiskan pada kanvas jiwa pembacanya”. Pendeknya, puisi selalu bergerak menjauh dari segala definisi-defini yang muncul.  Itulah sebabnya segala bentuk definisi yang mengikat tentang puisi selalu gagal menjelaskan fenomena puisi baru yang muncul.

Tujuan dan bentuk puisi yang dituliskan para penyair selalu bergerak melampaui puisi yang telah ada. Tetapi yang pasti puisi adalah salah satu metode untuk menyatakan dunia. Bagaimana bentuk dan tujuan sebuah puisi dituliskan itu soal yang lebih detail lagi. Puisi mengisyaratkan sebuah petualangan bahasa yang tak berhenti.  Definisi puisi tidak mungkin menghentikan gerakan-gerakan kreatif dan inovatif penyair untuk terus melampaui bentuk dan tujuan puisi yang telah ada.  Pengembaran kreatif dalam membentuk emosi kata, membangun komposisi musical baru, membuat topografi, meengkreasi gaya bahasa, pembentukan kata baru, permainan diksi tak mungkin dihentikan dengan sebuah definisi tentang apa itu puisi.

Sebuah kemungkinan menarik untuk menjawab pertanyaan ontologis tentang apa itu puisi bisa didekati dengan berbagai kemungkinan ideologi. Kita hanya bisa melihat atau setidaknya menduga bahwa puisi adalah sebuah upaya respon terhadap dunia melalui model atau karakter sastra dalam bentuk puisi. Kita juga bisa melihat susupan pemahaman ideologi sastra yang memandang puisi secara berbeda, sebut saja eksistensialisme, marxisme, dadaisme dll. Secara resonansi waktu puisi pun dipahami berbeda dalam tradisi tradisional, modern, dan postmodernisme.

Perpsekti f tradisionalisme berpendapat bahwa puisi adalah ekspresi dari sebuah visi yang diberikan dalam bentuk yang indah dan menyenangkan kepada orang lain dan mungkin membangkitkan emosi yang sama. Perspektif  modernisme, berasumsi bahwa puisi adalah sebuah objek otonom yang mungkin atau mungkin tidak mencerminkan dunia nyata tetapi dibuat dalam bahasa yang dibuat khusus dengan referensi  makna yang kompleks. Perspektif postmodernisme, memandang puisi sebagai kolase dari idiom yang menarik emosi  tapi mandiri.
 
Salah satu cara lain memahami puisi adalah memandangnya sebagai salah satu bentuk genre sastra yang unik. Tentu puisi harus kita pahami sebagai sebuah model komposisi sastra yang berbeda dengan novel atau cerpen. Dengan memahami perbedaan puisi dengan komposisi sastra lainnya, setidaknya kita juga dapat mempunyai bayangan tentang apa itu puisi. Lalu, apa yang membedakan puisi dari komposisi sastra lainnya? Pertanyaan tersebut juga bisa “debatebel”.  Intinya (tanpa bertujuan membangun sebuah definisi), puisi adalah sesuatu yang otonom bahkan hingga ditinggak individu puitik berupa sajak-sajak.  Maka pada diri sajak-sajak itulah ia mendefinisikan dirinya. Setiap anda membaca satu puisi maka puisi itu sendiri yang akan mendefinisikan dirinya.

Tidak banyak cara praktis untuk mendefinisikan apa itu puisi. Definisi yang tersedia dalam dunia akademik, akan mengacu pada berbagai perspektif dalam lingkup estetika, teoris sastra, dan kritik sastra. Tetapi apapun perspektif yang digunakan dalam dunia akademik selalu beroperasi pada sebuah model komposisi puisi tertentu. Kadang banyak kasus, teori sastra atau kritik sastra diajukan untuk mengurai substansi dan esensi seuah puisi tetapi puisi itu sendiri mempertahankan kebenaran dirinya.  Apakah puisi itu adalah sebuah puisi dengan kualitas sastra tinggi, rendah, atau sedang, selalu mempunyai kebenaran puitik didalam dirinya. Seberapa tegas sebuah teori sastra puisi atau kritik sastra puitik mengungkap eksistensi puisi, sebuah puisi selalu bertahan dengan kebenaran puitiknya sendiri-sendiri.

Lalu ada beberapa kemungkinan kita memahami kebenaran puitik yang mungkin juga sangat tidak memuaskan. Pertama puisi mungkin adalah sebuah seni sastra yang tidak terjelaskan. Statemen tersebut menjelaskan bahwa sebuah puisi adalah susunan kata-kata yang maknanya berada diluar dari kata-kata tersebut.  bahkan kemungkinan lain dari sebuah puisi sebagai sastra yang tak terjelaskan adalah kemungkinan tidak dapat ditemukan wujudnya ketika dibaca tetapi dalam proses pasca pembacaan atau dalam sebuah refleksi setelah terbaca.

Kemungkinan lain , sebagai  kemungkinan kedua dalam memahami kebenaran puisi adalah memahami puisi sebagai sebuah tindakan penemuan. Argumentasi tersebut tentu terkait dengan apa yang dikemukakan seorang penyair bernama Skacel yang menyatakan bahwa “penyair tak pernah menuliskan puisi, penyair hanya menemukan puisi”. Sebuah derita atau kesedihan yang tampak dituliskan seorang penyair dalam puisinya sesungguhnya adalah derita dan kesedihan yang ditemukannya disuatu tampat didunianya. Maka kebenaran yang mungkin dari sebuah puisi adalah sebuah  penemuan. Menulis puisi adalah sebuah kemungkinan dari tindakan penemuan. Dalam konteks ini kita bisa memilah kemungkinan kualitas penemuan sebagai cara memilah kualitas puisi. Puisi amatir, puisi populer, puisi anak-anak, atau puisi yang berkualitas sangat tergantung dari kualitas makna yang ditemukannya atau kualitas puitik yang ditemukannya.

Kebenaran lain yang mungkin terdapat dalam sebuah puisi adalah fase unik dari zaman atau karakter penyairnya. Kemungkinan ini terkait dengan sebuah gaya zaman atau karakter personal penyair. Pengalaman unik dan sebuah zaman yang khas tentu akan melahirkan puisi-puisi yang mengandung karakter kebenarannya sendiri.  Pada perspektif itulah, kita akan menemukan sebuah kebenaran soneta yang khas dari jiwa seorang penyair idealis seperti Pablo Neruda, atau kita akan menemukan sebuah kebenaran dari puisi mantra yang ditulis oleh seorang penyair mistik seperti Sutardji Calzhoum Bachri, atau kita menemukan sebuah kebenaran  misteri kata-kata   dari puisi dadais dari seorang penyair absurd seperti Afrizal Malna.

Kemungkinan kebenaran yang keempat dari sebuah puisi adalah bahwa puisi tidak punya rumus, tidak punya cetakan, tidak punya resep, dan tidak punya motif.  Maka sebuah puisi tidak mungkin diukur dalam konteks rumus, cetakan, resep, atau motif-motif puitik apapun.  Sangat sulit untuk mengatakan bahwa karya-karya puisi Aslan Abidin lebih rendah dari kualitas puisi Afrizal Malna. Sangat tidak mungkin mengatakan bahwa karya-karya puisi Williams Butler Yeats yang pernah memenangkan Nobel bidang sastra jauh lebih baik dari karya-karya puisi Chairil Anwar yang tidak pernah memenangkan hadiah Nobel kesusasteraan.  Semua puisi dibentuk dari rumus, cetakan, resep, dan motif yang berbeda.

Kemungkinan kebenaran yang kelima adalah puisi dibangun dengan kredo puitik subjektif dari masing-masing penyair. Visi kepenyairan menggambarkan sebuah visi kebenaran yang subjektif pada setiap puisi. Para penyair mempunyai cara pandang yang berbeda memahami apa itu puisi dan cara kerja yang berbeda dalam menggunakan puisi. Perbedaan-perbedaan tersebut bersandar pada kebenaran puitik masing-masing penyair.

Untuk menjawab pertanyaan apa itu puisi tentu bukan sebuah situasi yang sederhana, kita harus mengacu pada berbagai kemungkinan kebenaran yang bisa menjawap pertanyaan ontologis tersebut. seringkali ketika seseorang mencoba menjawab pertanyaan seputar apa itu puisi, maka yang ditemukan bukanlah jawaban melainkan pertanyaan-pertanyaan yang lebih rumit lagi.

Sungguminasa-GOWA, 23 Februari 2008
Ahyar Anwar